Bagi sejumlah orang pintar yang menganggap dirinya layak menjadi menteri, bulan oktober 2009 adalah bulan mendebarkan. Ada yang mulai menghitung kancing: dipilih, tidak, dipilih, tidak. Andaikan rambu-rambu etika memungkinkan, bisa jadi banyak camen (calon menteri) akan meniru caleg (calon legislatif) yang memasang iklan di sana-sini: “pilih saya karena lebih pintar”. 0rang tua juga serupa. Belum pernah terdengar ada orang tua yang berdoa agar anaknya bodoh kelak. Di sekolah, tidak ada guru yang rela muridnya disebut bodoh.
Kepintaran dan kehancuran
Ribuan tahun yang lalu, ketika manusia mulai mengagumi kepintaran, mungkin tidak terbayangkan kalau kepintaran akan bersahabat dengan kehancuran. Perhatikan skandal-skandal besar yang mengguncang dunia, teror dan perang yang memakan banyak sekali nyawa manusia, tidak ada yang dilakukan oleh orang-orang desa yang bodoh. Semuanya diotaki oleh orang kota yang berpendidikan tinggi.
Dari sini tentu terlalu dini untuk menyimpulkan kalau kepintaran itu berbahaya. 0rang pintar berperilaku jahat ada, orang pintar dengan perilaku menyentuh juga ada. Pertanyaannya kemudian, kenapa kepintaran semakin bersahabat dekat dengan kelicikan dan keruntuhan?
Perhatikan sebagian percakapan diantara orang-orang pintar. Begitu kepentingannya tidak terpenuhi, maka dicarilah argumen dan data yang bisa meruntuhkan orang lain. Sebaliknya jika kepentingannya terakomodasi, maka pendapat serta informasi yang diungkapkan cenderung yang mendukung. Makanya di Barat terjadi keruntuhan kepercayaan besar-besaran terhadap orang pintar. Ini salah satu kekuatan yang membukakan pintu pada munculnya counter culture di Barat, sekaligus menghadirkan dahaga mendalam akan kebijaksanaan Timur. Intinya satu, kepintaran sudah semakin dekat dengan kelicikan, kemudian menghasilkan kerinduan mendalam akan kejujuran, ketulusan dan kepolosan.
Di Timur gejala ke arah itu ada. Thailand adalah sebuah guru. Munculnya orang pintar seperti Thaksin Shinawatra memang sempat mencuatkan kemajuan ekonomi sebentar. Namun sebagaimana perilaku kepintaran yang mengundang kepintaran lain untuk melawan, Thaksin diturunkan oleh dugaan skandal, diikuti oleh berkali-kali kekacauan yang menakutkan. Malaysia dengan cerita Anwar Ibrahim, Iran yang memanas pasca pemilihan presiden, Madagaskar yang ditandai banyak kudeta, hanyalah sebagian gejala yang mungkin membukakan datangnya counter culture di Timur.
Sehingga tanpa persiapan dan kepekaan yang cukup, Indonesia pun berpotensi untuk dikacaukan oleh hadirnya counter culture. Perhatikan orang-orang pintar yang diberi kesempatan oleh reformasi untuk merubah keadaan di birokrasi. Sebagian keluar dari gelanggang tanpa tanda-tanda kemenangan. Sebagian kecil bahkan masuk lembaga pemasyarakatan karena terjaring perkara korupsi. Melihat kecenderungan seperti ini, menakuti apa lagi membenci kepintaran bukanlah jalan keluar yang disarankan. Kepintaran memerlukan kekuatan pengimbang bernama kebijaksanaan.
Suara Kebijaksanaan
Tetua di Jawa punya pesan indah sekaligus menggugah. 0rang bodoh kalah sama yang pintar. Manusia pintar ditaklukkan oleh orang licik. Namun ada jenis manusia yang tidak bisa ditaklukkan oleh kelicikan yakni orang beruntung. Mungkin itu sebabnya masih tersisa banyak orang Jawa yang senantiasa beruntung. Bila kecelakaan patah tulang, untung patah tidak mati. Jika mati, untung mati tidak cacat.
Bagi sejumlah orang pintar, cara memandang kehidupan yang penuh keberuntungan seperti ini akan mudah diberi judul bodoh dan tolol. Ada yang mengejeknya dengan canda dan tawa. Namun bagi penekun kebijaksanaan, wajah kehidupan yang penuh keberuntungan adalah tanda-tanda jauhnya penggalian seseorang ke dalam dirinya. Pertama, ia menjadi pertanda bertekuk lututnya hawa nafsu yang mau semua serba sempurna. Kedua, terbukanya pintu kehidupan yang jauh lebih luas dari sekadar mementingkan diri sendiri. Ketiga, seperti anak ayam yang keluar bebas dari telur, demikian juga manusia yang melihat keberuntungan di mana-mana. Ia sudah terbebas. Sekurang-kurangnya terbebas dari kepintaran yang picik, sekaligus kelicikan yang tidak mendidik.
Makanya ada yang berpesan, bila anak ayam dipenjara kulit telur, manusia dikerangkeng oleh kepicikannya. The difference between the enlightened and the unenlightened is the difference between opennes and narrowness, demikian kira-kira bunyi pesan aslinya. Untuk itu, banyak sekali kursi-kursi birokrasi sekaligus korporasi yang rindu sekaligus lapar akan orang-orang bodoh yang beruntung (baca: keseharian yang bersahabatkan pelayanan dan keterbukaan. Beruntung karena keterbukaan dan pelayanan mudah sekali menghadiahkan kebahagiaan).
Bagi sebagian orang pintar, pelayanan hanya pekerjaan orang-orang rendah. Keterbukaan pikiran kerap dicaci dengan ketiadaan sikap. Ini bisa terjadi karena kepintaran terbiasa menghargai dirinya amat tinggi sehingga meletakkan pelayanan sebagai sesuatu yang hina. Kepintaran sering kali membuat kotak (kriteria). Yang cocok dengan kotak jadi teman serta disebut baik. Yang tidak cocok disebut musuh sekaligus diberi judul jahat.
Padahal sebagaimana kita alami bersama, kehidupan bergerak tanpa kotak. Seperti melihat Indonesia, bila ukuran yang digunakan adalah Singapura, Brunei Darussalam apa lagi China, maka Indonesia hanyalah negara yang tidak diurus. Bila acuannya adalah negara-negara yang baru mengenal telepon genggam seperti Afghanistan, Kamboja yang ibu kotanya berisi sangat sedikit lampu pengatur lalu lintas, Myanmar yang ekonominya amat tertinggal, apa lagi sebagian Afrika yang harapan hidupnya 39 tahun, Indonesia memiliki banyak hal yang layak disyukuri.
Kemajuan kerap mengharapkan manusia untuk selalu membandingkan dirinya dengan yang lebih tinggi. Namun seperti mobil yang terus menerus berlari kencang, di suatu tanjakan ia akan terbakar. Tanda-tanda akan terbakar memang mulai terlihat. Bom teroris, melemahnya kharisma institusi agama, sikut-sikutan antarlembaga pemerintah, pengkerdilan Komite pemberantasan korupsi. Ini bukan tidak mungkin menghadirkan counter culture yang menjadi awal banyak kekacauan.
Di tanjakan-tanjakan yang nyaris terbakar, energi panas kepintaran memerlukan kesejukan air kebijaksanaan. Bekerja, belajar, berdoa tentu terus dilakukan, karena ini yang membuat kehidupan berputar. Namun, menarik udara segar kehidupan melalui kegiatan bersyukur, tentu amat membantu dalam membuat kehidupan agar tidak terbakar.
Seorang sahabat bodoh yang beruntung pernah mengirimkan pesan singkat: “sebagaimana air yang sejuk dan lembut senantiasa mengalir ke tempat-tempat rendah, demikian juga dengan orang-orang yang rendah hati, kesehariannya juga sejuk dan lembut”.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment