Sepakbola menyatukan berbagai kelompok di Tanah Air menjadi suporter Tim Garuda. Nasionalisme begitu terasa menjelang peluit dimulainya pertandingan ditiup. Namun jangan sampai nasionalisme hanya muncul dalam 2 X 45 menit saja.
"(Nasionalisme) seharusnya dihayati, dimaknai. Bukan karena didikte, lalu nasionalisme bangkit. Kalau yang terjadi seperti itu, artinya nasionalisme 90 menit. Nasionalisme yang hanya muncul saat pertandingan," kata sosiolog dari Universitas Negeri Gorontalo, Funco Tanipu dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (29/12/2010).
Funco mengingatkan agar sepakbola diletakkan dalam konteks yang rasional. Dalam setiap pertandingan, termasuk sepakbola, kalah dan menang adalah hal biasa. Untuk keluar sebagai yang terbaik mensyaratkan adanya proses yang tidak singkat.
"Harus dilihat yang rasional. Tidak fair kalau dibebani dengan sesuatu yang sifatnya terlalu tinggi. Nasionalisme seharusnya diletakkan tidak secara berlebihan," sambung pria yang tengah menyelesaikan pendidikan Doctor of Philosophy (Ph.D)-nya di jurusan sosiologi UI ini.
Tidak mudah memang membalikkan posisi setelah di leg pertama, Indonesia dibekuk Malaysia dengan tiga gol tanpa balas. Wajar jika masyarakat Indonesia berharap banyak kepada Tim Garuda. Namun jangan sampai melahirkan dukungan yang berlebihan.
"Kalah menang itu biasa, tapi hari-hari ini jadi luar biasa. Kita dukung Timnas dengan
wajar saja, jangan sampai overdosis," imbuh Funco.
Menurutnya, Timnas sudah bermain bagus. Ketika kekalahan dialami Timnas, dia meminta tidak dicari kambing hitam dengan menyampaikan isu-isu yang provokatif. Sebab isu-isu semacam itu akan membuat masyarakat menjadi tidak rasional.
"Institusi sosial dan politik jangan memancing di air keruh, karena sepakbola lalu menjadi krisis antar negara," tutup Funco.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment